Minggu, 07 Desember 2008

Superioritas Laki-Laki dalam Keluarga;
Memahami Hak dan Kewajiban Suami Istri dalam Islam


Perkawinan adalah piranti penting dalam sebuah masyarakat, dengannyalah terjaga kesinambungan kehidupan manusia. Oleh karenanya Islam sangat menaruh perhatian terhadapnya. Dalam Islam diatur segala hal yang berkaitan dengan perkawinan, diantaranya adalah hak dan kewajiban suami istri yang menjadi landasan keberhasilan sebuah perkawinan dalam mencapai keluarga sakinah yang diwarnai mawaddah wa rahmah.
Namun demikian sering kita mendengar suara sumbang yang memojokkan Islam, bahwasanya Islam menjadikan wanita -dengan perkawinan- tak lebih dari seorang budak untuk seorang laki-laki, suami adalah tuan yang memiliki kekuasaan atas dirinya, karena dengan tegas Al qur'an mengatakan: "Ar rijaalu qawwamuuna 'ala an nisa bimaa fadhdholallahu ba'dhohum 'ala ba'dhin wa bimaa anfaquu min amwaalihim" (An nisa: 34), maka suami memiliki hak absolut yang tidak dapat diganggu gugat atas diri istrinya, bahkan dalam akhir ayat, Islam menjelaskan bahwa suami berhak memukul istrinya. Namun benarkah demikian yang dimaksud oleh ayat di atas? bahwasanya qowwam adalah hak menguasai dan melakukan seseorang semena-mena? Inilah yang akan penulis bahas dalam tulisan ini untuk menjawab tuduhan kosong yang ditujukan terhadap Islam oleh para musuh Islam yang tidak akan berhenti menyerang Islam sampai orang Muslim murtad dari agamanya.(Al baqarah: 120) Na'udzu billahi min dzalik.
Untuk memahami ayat di atas secara integral, maka kita harus memahami terlebih dahulu ayat 228 dari surat al Baqarah: "wa lahunna mislul ladzina 'alaihinna bil ma'ruf wa lir rijaali 'alaihinna darajah wallahu 'azizun hakim" (dan bagi para istri hak-haknya yang setimpal dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf , akan tetapi suami memiliki satu kelebihan atas para istri. Dan Allah Maha perkasa lagi Maha Bijaksana). Maka dengan ayat ini Islam dengan tegas memberi hak yang setara terhadap suami istri kecuali dalam satu perkara "wa lir rijaali 'alaihinna darajah". Seorang Muslim harus menggunakan kalimat wa lahunna mislul ladzina 'alaihinna bil ma'ruf sebagai timbangannya dalam memperlakukan istrinya, jika ia menuntut sesuatu dari istrinya maka iapun berkewajiban untuk melakukan hal yang sama, sebagaimana telah diriwayatkan dari ibnu Abbas RA.ketika seorang sahabat bertanya padanya mengapa ia mematut-matut diri di cermin? maka ia menjawab: "Aku berdandan untuk istriku sebagaimana ia berdandan untukku" Maka dalam hukum Islam tidak ada pekerjaan yang dilakukan oleh seorang istri kecuali ia mendapat balasan yang setimpal dari suaminya.
Jika demikian keadaan keluarga Islam bahwasanya suami dan istri memiliki hak yang sama sebagaimana keduanya memiliki kewajiban terhadap satu sama lain, maka apa yang dimaksud dengan "darajah" (kelebihan) yang dimiliki oleh laki-laki dalam ayat? Disinilah letak kesinambungan ayat al Baqarah dengan ayat an Nisa di atas, bahwa yang dimaksud dengan darajah di sini adalah "Ar rijaalu qawwamuuna 'ala an nisa bimaa fadhdholallahu ba'dhohum 'ala ba'dhin wa bimaa anfaquu min amwaalihim". Yang dimaksud dengan qowwam dalam ayat adalah kelebihan tanggung jawab kepemimpinan yang memiliki hak ditaati. Tapi kelebihan ini tidak dimiliki seorang suami secara cuma-cuma melainkan sebagai kompensasi atas beban yang ia pikul yaitu mencari nafkah untuk istri dan anak-anaknya. Karena Islam telah menjadikan rumah sebagai istana perempuan bahkan menjadikan menetapnya istri di rumah sebagai salah satu hak suami, maka sebagai kompensasinya Islam melepaskan istri dari kewajiban mencari nafkah, kewajiban mencari nafkah dibebankan kepada suami. Maka ironis sekali sebenarnya ketika perempuan Islam menuntut diberi hak yang sama dengan laki laki untuk bekerja di luar rumah, artinya ia membebani dirinya dengan dua pekerjaan yang mestinya dipikul oleh dua orang.
Konsekwensi daripada qowwam (kepemimpinan) yang dimiliki suami dalam keluarga adalah istri dituntut untuk taat kepada suami, karena sebuah kepemimpinan tidak akan ada artinya jika tidak ada yang dipimpin yang mentaati perintah pemimpinnya. Hal inilah yang sering disalah artikan oleh kebanyakan lelaki. Mereka mengartikan taat disini adalah pasrah total, seorang istri harus mentaati semua perintah suaminya walaupun hal tersebut bertentangan dengan syari'ah atau fitrah atau menyakiti hati istri dan keluarganya. Padahal tidak demikian yang dimaksud oleh Islam. Syari'at Islam tidak mewajibkan istri mentaati suaminya kecuali terpenuhi tiga syarat:
1. Perintah tersebut berkaitan dengan masalah keluarga. Sementara perintah yang menyangkut masalah pribadi istri, seperti mengenai harta pribadi istri, perintah suami tidak wajib ditaati.
2. Perintah yang dikeluarkan harus sesuai dengan syari'at Islam. Apabila suami memerintahkan sesuatu yang bertentangan dengan Syari'ah maka tidak wajib ditaati.
3. Suami harus memenuhi kewajibannya terhadap istri yang diantaranya adalah memberi nafkah.
Tiga syarat diatas dapat dijadikan barometer bagi seorang istri dalam bertindak, karena -sekali lagi- tidak jarang laki-laki menggunakan tameng "hak untuk ditaati" untuk memaksakan kehendaknya terhadap istri. Maka tidak dibenarkan dalam Islam perlakuan suami yang mengurung istrinya di rumah dengan alasan sudah menjadi haknya. Benar Islam memberikan hak kepada laki-laki untuk memerintahkan istrinya tinggal di rumah, tapi tidak berarti ia boleh melarangnya bersilaturahmi kepada keluarganya terlebih orang tuanya. Karena dengan demikian ia telah melarang istrinya untuk melaksanakan perintah Allah, sementara la ta'ah li makhluqin fi ma'shiyatil Khaliq.
Tidak dibenarkan juga dalam Islam perlakuan laki-laki memukul istrinya karena kesalahan kecil. Benar Islam memberikan hak memukul istrinya untuk mengembalikan ia ke jalan Allah, tapi setelah melewati dua proses yang lain, menasehatinya dan menjauhinya, apabila seorang istri tidak menggubris nasehat suaminya dalam kebenaran, tidak pula berubah sikapnya setelah suami menjauhinya (al hajr: memunggungi ketika tidur, pisah ranjang, pisah kamar), maka dalam kondisi seperti inilah suami diberi wewenang untuk memukul istri dengan pukulan yang tidak menyakitkan dan berbekas, dan tidak pada wajah. Jadi tidak setiap istri boleh dipukul, istri yang masih mau mendengar nasehat suaminya, yang sadar ketika suami menjauhinya tidak perlu lagi dipukul untuk mengembalikannya kepada ajaran Allah. Demikian halnya tidak setiap laki-laki dapat memukul istrinya, karena laki-laki yang dewasa dalam berpikir selalu mentamengi dirinya dengan sifat toleransi dan sabar sehingga tidak sampai hati ia memukul istrinya ketika ia melakukan kesalahan -walaupun syari'ah membolehkannya-. Oeh karena itu diriwayatkan dari Rasulullah SAW bahwa beliau tidak pernah memukul wanita. HR. Ibnu Majah. Bahkan Rasulullah menyifati laki-laki yang memukul istrinya dengan "laisa ulaika bikhiyaarikum" (mereka –yang memukul istrinya- bukan yang terbaik diantara kamu).
Demikianlah sebuah keluarga dalam Islam, dibangun dengan landasan saling menghargai hak dan kewajiban satu sama lain. Dan demikianlah yang dimaksud dengan qowwam dalam al Quran, tanggung jawab kepemimpinan yang konsekwensinya mendidik, menyayangi dan mengayomi. Maka alangkah indah sebuah keluarga yang diwarnai oleh ajaran Islam, dimana suami istri berlomba untuk menjalankan kewajibannya demi mencapai ridho Allah, tidak melulu menuntut hak masing-masing. Suami menjadikan hadits nabi yang berbunyi "yang terbaik di antara kamu adalah yang terbaik kepada istrinya dan akulah yang terbaik terhadap istriku" sebagai pegangan hidupnya. Sementara Istri menjadikan hadits nabi yang berbunyi "Jika wanita sholat lima waktu, puasa bulan Ramadhan, menjaga kesuciannya dan taat kepada suaminya maka ia masuk surga" sebagai penuntun hidupnya. Rabbana Hablana min azwaajina wadzyurriyaatina qurrata a'yun waj 'alna lilmuttaqiina imama.